SPENDING REVIEW APBD, LANGKAH AWAL MENUJU VALUE FOR MONEY ATAS BELANJA DAERAH

SPENDING REVIEW APBD, LANGKAH AWAL MENUJU VALUE FOR MONEY ATAS BELANJA DAERAH
Arie Suwandani Wiwit Warastuti Kepala Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran I, Kanwil DJPb Provinsi Riau, Kemenkeu

Oleh: Arie Suwandani Wiwit Warastuti

Kepala Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran I, Kanwil DJPb Provinsi Riau, Kemenkeu

 

Urgensi Spending Review APBD dalam kerangka kesinambungan pembangunan 

MESKIPUN pengelolaan APBN sudah terpisah dengan pengelolaan APBD berdasarkan undang-undang otonomi daerah, namun pada dasarnya tujuan berbangsa dan bernegara untuk memakmurkan segenap rakyat Indonesia tidak dapat terdikotomikan pada pembagian pengelolaan APBN dan APBD. 

Capaian target pembangunan nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat seperti pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat tidak akan dapat tercapai tanpa dukungan capaian pembangunan di daerah. 

Dibutuhkan pemahaman dan awareness yang komprehensif tentang pengelolaan APBD dari insan perbendaharaan sebagai pengawal manajemen keuangan negara yang pada ujungnya akan berdampak pada kesinambungan pembangunan di daerah.

 Berikut ini adalah kerangka pemikiran tentang urgensi pengelolaan APBD yang baik dikaitkan dengan kondisi perekonomian global dan nasional dan kaitannya dengan risiko fiskal yang dapat mengancam kesinambungan pembangunan daerah. 

Kondisi perekonomian global yang tidak menentu mengakibatkan ketidakpastian harga komoditas termasuk pada produk unggulan dari Riau yaitu Migas dan CPO Kelapa Sawit. 

Hal ini berimbas pada munculnya risiko berupa turunnya penerimaan negara dan turunnya capaian PAD. Di sisi lain, berdasarkan analisis atas APBD seluruh Pemda lingkup Provinsi Riau yang terdiri dari 13 Kabupaten/Kota, terdapat fakta bahwa belanja pemda didominasi oleh belanja operasional dan pendapatan daerah didominasi oleh Transfer Pusat. 

Hal ini mengakibatkan alokasi pada APBD menjadi tidak/kurang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi regional karena minimnya alokasi belanja modal dan belanja barang yang bersifat pemberdayaan masyarakat.  

Dominasi transfer pusat ketimbang PAD menyebabkan tingkat ketergantungan fiskal yang tinggi dan apabila dikombinasikan dengan ketidakmampuan untuk  mendorong pertumbuhan ekonomi regional akan berdampak pada defisit anggaran yang terus berkelanjutan. Inilah yang menyebabkan angka kesehatan fiskal pemda Riau menjadi rendah dan secara langsung akan menyebabkan tingginya risiko fiskal.

 Dalam kondisi seperti ini,  peran Manajemen Risiko untuk mengelola risiko fiskal yang tinggi dengan melakukan perbaikan pada dua aspek yaitu Belanja Daerah dan Pendapatan Daerah menjadi sangat penting.

Perbaikan pada aspek Belanja Daerah mencakup perbaikan postur APBD yaitu perubahan proporsi pada belanja yang lebih akan mendorong pertumbuhan ekonomi, melakukan efisiensi atas belanja yang bersifat operasional serta melakukan prioritasi belanja sesuai dengan target pembangunan Pemerintah Pusat yang disinkronkan dengan visi misi Pemda.

Berdasarkan PMK No 226/PMK.07/2015 tentang Pemeringkatan Kesehatan Fiskal, dan Pengelolaan Keuangan Daerah, Kementerian Keuangan melakukan penilaian rating kesehatan fiskal pemerintah daerah setiap kabupaten/kota yang berada dalam suatu provinsi.

 Penilaian dilakukan dengan menggunakan Sembilan indikator kesehatan pengelolaan keuangan daerah kemudian dilakukan pembobotan agar dapat diklasifikasikan ke dalam subkriteria sebagai dasar pemeringkatan. 

Sembilan indicator tersebut adalah :

1) Rasio Pendapatan Asli Daerah (RPAD): Realisasi PAD/Total Pendapatan Daerah, 

2) Rasio Efektivitas PAD (REPAD): Realisasi Penerimaan PAD/Target Penerimaan PAD,

3) Rasio Pertumbuhan PAD (RPPAD): (PAD t1-PAD t0)/PAD t0, 

4) Rasio Belanja Modal (RBM): Realisasi Belanja Modal/RealisasiTotal Belanja, 

5) Rasio Belanja Pegawai (RBP): Realisasi Belanja Pegawai /RealisasiTotal Belanja, 

6) Penyerapan Anggaran (PA): Realisasi Belanja/Pagu Belanja, 

7) Rasio Ruang Fiskal (RRF): : (Realisasi Pendapatan-DAK-Belanja Pegawai Tidak Langsung)/Realisasi Total Pendapatan, 

8) Rasio Pendapatan Daerah dan Penerimaan Pembiayaan (RPDPP): (Realisasi Pendapatan+Realisasi Pembiayaan)/(Realisasi Total Belanja+Pengeluaran Pembiayaan)

9) Rasio SiLPA (RS) SiLPA TA Sebelumnya/Realisasi Total belanja.

Dari hasil perhitungan berdasarkan formula atas 9 indikator tersebut diperoleh level kesehatan keuangan daerah dengan kriteria Level 5: Nilai akhir 91 - 100 (Sangat Bagus), Level 4: Nilai akhir 75 - 90 (Bagus), Level 3: Nilai akhir 61 - 74 (Cukup), Level 2: Nilai akhir 41 - 60 (Kurang), Level 1: Nilai akhir 0 – 40 (Sangat Kurang) 

Berdasarkan penilaian atas rasio-rasio yang ada dalam menghitung tingkat kesehatan fiskal Pemerintah Daerah di Provinsi Riau selama tiga tahun terakhir (berdasarkan PMK 226/2015), diperoleh nilai kesehatan fiskal pemda di 13 kabupaten/kota rata-rata berada di bawah nilai 60 yang berarti masih masuk dalam kategori level 2 atau Kurang (Nilai 41 sd 60).

 Ini menunjukkan masih terdapat gap kinerja Pemda dalam menjaga kesehatan fiskalnya yaitu masih perlu ditingkatkan ke level cukup (Nilai 61 sd 74) atau baik (Nilai 75 sd 90). 

Kesehatan fiskal yang rendah memunculkan kebutuhan akan peran Manajemen Risiko untuk mengelola risiko fiskal yang tinggi dengan melakukan perbaikan pada dua aspek yaitu Belanja Daerah dan Pendapatan Daerah.

 Perbaikan pada aspek Belanja Daerah mencakup perbaikan postur APBD yaitu perubahan proporsi pada belanja yang dapat lebih mendorong pertumbuhan ekonomi, melakukan efisiensi atas belanja yang bersifat operasional serta melakukan prioritasi belanja sesuai dengan target pembangunan Pemerintah Pusat yang disinkronkan dengan visi misi Pemda.

Perbaikan pada aspek Belanja Daerah tersebut mempersyaratkan adanya review yang sistematis dan komprehensif dengan menggunakan metodologi yang terukur atas pengalokasian belanja pada APBD dengan memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas belanja pemerintah.  Spending review atas belanja APBD dapat memetakan titik-titik inefisiensi pada belanja dan selanjutnya melakukan prioritasi dan perbaikan postur belanja ke arah yang lebih ideal. 

Perbaikan postur belanja selanjutnya akan berdampak pada peningkatan skor atas beberapa rasio dalam penilaian kesehatan fiskal yaitu: Rasio Belanja Modal, Rasio Belanja Pegawai dan Rasio Ruang Fiskal  Ruang fiskal yang lebih diharapkan akan menjadi ruang belanja bagi pemda untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi. 

Metodologi Spending Review APBD 

Metode review terdiri dari tiga aspek yaitu review umum, aspek efisiensi dan aspek efektivitas 

1. Review Umum 

Review umum memberikan review secara umum atas pelaksanaan anggaran Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang meliputi: 

- Gambaran umum pelaksanaan anggaran yang mereview secara keseluruhan tentang pengalokasian anggaran, per fungsi, per program, per jenis belanja, gambaran umum realisasi tahun yang lalu dan realisasi sampai dengan periode review dilaksanakan. 

- Menghighlight arah kebijakan umum anggaran, yaitu memaparkan kembali arah kebijakan umum penganggaran yang telah ditetapkan di awal tahun anggaran oleh kepala daerah dan DPRD. 

- Mereview capaian 9 indikator kesehatan fiskal Pemda selama 3 tahun terakhir plus semester I tahun anggaran berjalan. 

2. Aspek Efisiensi

Merupakan review atas alokasi belanja dengan focus pada pemetaan potensi inefisiensi dengan menggunakan metode sederhana seperti: 

- Melakukan perbandingan besaran alokasi belanja pendukung dan belanja nti dalam suatu program. Persentase belanja pendukung (operasional dan non operasional) terhadap belanja inti secara wajar adalah 15%, lebih dari itu dapat diduga sebagai inefisiensi. 

- Analisis atas jenis belanja tertentu (belanja input) yang sering menjadi subjek inefisiensi seperti: belanja perjalanan dinas (bandingkan antara Standar Biaya Masukan APBD dan Standar Biaya APBN atas jenis belanja yang sama), belanja pemerliharaan Gedung kantor (dibandingkan dengan IKE), belanja langganan daya dan jasa (dibandingkan dengan indeks)  dan belanja honorarium output kegiatan 

- Analisis atas pola penyerapan belanja yang memiliki indikasi inefisiensi. Pola penyerapan belanja perjalanan dinas atau konsinyering/rapat yang melonjak drastis pada akhir tahun merupakan indikasi terjadinya inefisiensi. 

3. Aspek Efektivitas 

 Merupakan review yang bertujuan untuk mengukur efektivitas intervensi belanja pemerintah terhadap pencapaian target outcome suatu program. Pengukuran yang dilakukan antara lain:

- Mengukur tingkat relevansi program/kegiatan dengan KUAPPAS

-Mengukur tingkat relevansi program/kegiatan dengan pencapaian Indikator Kinerja Utama yang tercantum dalam SAKIP Pemerintah Daerah atau indikator utama lain yang relevan berdasarkan referensi ilmiah. Misalnya tingkat relevansi program pada dinas pertanian dengan indikator peningkatan Nilai Tukar Petani, dll 

- Menyusun prioritasi belanja, yaitu pembuatan kerangka prioritas belanja berdasarkan tingkat keterkaitan program, kegiatan dan output dengan outcome yang ditetapkan dalam KUAPPAS dan IKU Pemda. 

DAFTAR PUSTAKA 

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.01/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan 

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 266/PMK.05/2015 tentang Pemeringkatan Kesehatan Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 

3. Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 107/PB/2018 tentang Pelaksanaan Spending Review 

4. Kajian Fiskal Regional Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Riau Tahun 2018 

5. Tri Budhianto, Materi Seminar Perkembangan Fiskal Daerah Provinsi Riau, 2019  

6. Pusat Analisa Kebijakan APBN, Review Belanja Barang untuk mendorong Spending Better, 2019 (***)

 

 

Berita Lainnya

Index