Bongku Petani Sakai Divonis Penjara Setahun dan Denda Rp200 Juta

Bongku Petani Sakai Divonis Penjara Setahun dan Denda Rp200 Juta
Bongku

SERAMBIRIAU.COM - Pengadilan Negeri Bengkalis menjatuhkan vonis 1 tahun perjara dan denda Rp200 juta untuk Bongku, masyarakat adat Sakai yang dikriminalisasi akibat kebijakan tanah ulayatnya untuk ditanami ubi kayu dan ubi dialog. Putusan tersebut dibacakan pada Senin (18/5/2020) siang.

Endah Karmila Dewi, ketua majelis majelis membacakan amar putusan yang pada pokoknya menjelaskan Bongku terbukti sah dan meyakinkan melalukan tindak pencegahan pengerusakan hutan, yaitu menebang pohon di kawasan hutan, diizinkan yang dikeluarkan oleh para pengaduan.

Menanggapi hal itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru menuding hakim tidak mempertimbangkan beberapa hal dalam putusannya.

"Pertama, majelis hakim tidak mempertimbangkan ahli yang dihadirkan di persidangan lengkap. Dalam persidangan penasehat hukum telah menghadirkan ahli Dr. Ahmad Sofian dari Universitas Binus. Ahli menjelaskan tentang masyarakat adat subjek hukum dari UUP3H. Maka tidak dapat dipilih dan keliru pengenaan pasal ini terhadap Pak Bongku. Majelis hakim membuat putusan tanpa pertimbangan ahli yang jelas sudah menerangkan subjek hukum dari UU yang didakwakan di persidangan, "ujar Kepala Operasional LBH Pekanbaru, Rian Sibarani kepada Riaumandiri.id , Senin (18/5/2020).

"Kedua, majelis hakim tidak menentukan tujuan dari pembentukan UUP3H. UUP3H dibentuk untuk menyasar mafia-mafia pengerusakan hutan yang terstruktur dan terorganisir yang sesuai dengan keinginan komersil. Dalam penelitian ini, pak Bongku melakukan perawatan kayu tujuan penebangan ini adalah untuk bercocok tanam ubi manggalo (ubi racun). Tujuan pembuatan undang-undang ini juga sudah disampaikan oleh ahli pertahanan Dr. Ahmad Sofian dalam persidangan, "sambung Rian.

Kemudian, Rian menambahkan, majelis hakim tidak mempertimbangkan yurisprudensi dengan perkara yang serupa, sehingga perkara yang mirip dengan Bongku pernah diadili di Pengadilan Negeri Watansopeng dan Pengadilan Negeri Banyuwangi. Dalam perkara tersebut, terdakwa dirilis. 

"Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Watansopeng dan Banyuwangi menyatakan tidak tidak terpenuhi bukan subjek yang terstrukur dan terorganisir sesuai yang diminta dalam UUP3H. Dalam putusannya juga, majelis hakim menyetujui rencana kerja yang dilakukan 2 orang atau lebih dalam waktu tertentu. Yurisprudensi ini tidak Dihadirkan oleh hakim dalam membuat putusan, padahal yurisprudensi telah disampaikan oleh ahli Dr, Ahmad Sofian yang juga sebagai ahli dalam perkara tersebut.

Setelah itu, lanjut dia, majelis hakim tidak dapat menyelesaikan penyelesaian sengketa antara PT. Arara Abadi dan masyarakat adat Sakai. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada 2015 memfasilitasi dan melakukan mediasi antara masyarakat adat Sakai dengan PT Arara Abadi, hingga saat ini mediasi tersebut belum selesai. 

"Maka jika majelis hakim tidak mempertimbangkan hal tersebut, putusan tersebut harus disetujui dan disetujui proses penyelesaian sengketa yang sedang berjalan.

"Majelis hakim menyatakan hal yang memberatkan Pak Bongku adalah pengerusakan hutan. Pertimbangan pengerusakan hutan ini tidak sesuai dengan fakta persidangan, tidak ada yang terungkap dalam fakta persidangan, baik laporan resmi maupun terdakwa yang dapat terbukti sebagai pengerusakan hutan. Majelis hakim dapat membuktikan Pak Bongku tidak memiliki izin, padahal masyarakat adat dalam mengelola tanah ulayatnya tidak perlu memiliki izin, karena telah mengatur dan menjamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, "bebernya.

Menurutnya, hakim tidak dapat membantah sepenuhnya dari UUP3H dan tidak mengerti konsep dasar UUP3H. 

"Hakim hanya memberikan formalitas atau izin masyarakat adat, sementara kita tahu tidak ada masyarakat adat yang memiliki izin atas tanah ulayat. Hal ini terlihat dalam pertimbanga pada persidangan karena ahli tersebut tidak dapat memberikan keterangan terkait dengan perizinan, "jelasnya.

Kelima, lanjut Rian, majelis hakim tidak dipertimbangkan, diambil, diambil dan dipahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 

Hakim dalam putusannya harus bebas dan tidak melihat ke kanan dan ke kanan, akan tetapi hakim harus membuka, membahas dan membahas nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 

"Majelis hakim tidak mempertimbangkan Pak Bongku yang mewakili masyarakat adat Sakai yang kehidupannya berasal dari hutan, alam dan lingkungan. Pak Bongku sebagai masyarakat adat terungkap dalam persidangan yang menjawabnya diberikan oleh Ridwan selaku batin, pengikut Syafrin, saksi Azril dan pertimbangan Jummadel yang juga masyarakat" adat Sakai, "ungkapnya.

"Majelis hakim juga tidak mempertimbangan konflik antara perusahaan dan masyarakat adat sejak perusahaan berdiri 1996 hingga saat ini terus saja terjadi tanpa ada yang dimaksud. Tentunya hal ini merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum dan tutup mata semakin jauh dan semakin sulit, "tambahnya.

Berdasarkan beberapa poin tersebut, LBH Pekanbaru menyatakan beberapa hal terkait putusan kasus Bongku.

"Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis dalam perkara no: 89 / Pid.B / LH / 2020 / PN.Bls tidak memiliki rasa keadilan, akan memajukan segala sesuatu demi hukum yang berkeadilan bagi masyarakat dan masyarakat adat, melaporkan hal ini kepada Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI karena memutus tidak sesuai dengan fakta persidangan, meminta pertimbangan dan tanggapan kepada Komnas HAM dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, meminta dukungan seluruh masyarakat untuk tetap mengkawal perkara ini untuk mendapatkan kembali, "tutup Rian.


Sumber: RiauMandiri / Editor


 

#Lingkungan

Index

Berita Lainnya

Index