Opini

Pentingnya Etika Bisnis dalam Hubungan Ketenagakerjaan Terkait Pandemi COVID-19

Pentingnya Etika Bisnis dalam Hubungan Ketenagakerjaan Terkait Pandemi COVID-19
Ilustrasi

PEKANBARU, - Adanya pandemi virus COVID-19 telah menyebabkan berbagai macam persoalan serius di seluruh lini sektor kehidupan masyarakat. Mulai dari persoalan ekonomi, sosial, politik, hingga ketenagakerjaan. Di Indonesia pun, wabah pandemi virus COVID-19 “telah memaksa pemerintah” untuk mengeluarkan kebijakan khusus dengan menghimbau penghentian sementara aktivitas-aktivitas yang menimbulkan kerumunan, seperti aktivitas pendidikan di sekolah, pekerjaan di perusahaan, kegiatan di ruang umum, hingga keagamaan di rumah ibadah.

Dampak yang paling menyedihkan karena pandemi ini adalah terjadinya PHK besar-besaran yang terjadi hampir di seluruh negara terjangkit COVID-19. Di Indonesia, Kemenaker dan BPJS Ketenagakerjaan mencatat ada sekitar 2,8 juta pekerja yang terkena dampak pandemi Covid-19.

Hubungan Ketenagakerjaan dalam Praktik Industrial

Saat berkompetisi di dalam suatu industri, diperlukan adanya hubungan industrial yang tertata dengan baik. Hubungan industrial merupakan interelasi di antara para pelaku produksi yang saling mempengaruhi dan ketergantungan dengan satu sama lain. 

Ada tiga kelompok aliran yang membentuk pola hubungan industrial, salah satunya adalah aliran yang memandang hubungan para pelaku produksi dari sisi pemberi kerja (employer) dan pelaksana kerja (employee). Buruh menjadi salah satu faktor yang krusial dan berharga dalam menjalankan bisnis. Buruh mempunyai nilai penting ketika mereka dapat memaksimalkan kinerja serta efektivitas waktu yang akan memperlancar produktivitas perusahaan. 

Tanpa mereka, sebuah perusahaan akan berhenti berfungsi. Sebagai konsekuensinya, perusahaan sebagai pemberi kerja harus mengerahkan banyak upaya untuk menjaga kesejahteraan buruh.

Relasi antara pemberi kerja dan pelaksana kerja yang diatur oleh kesepakatan biasa disebut dengan hubungan ketenagakerjaan. Hubungan ketenagakerjaan diatur dan dilindungi oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan diikat oleh peraturan perusahaan serta perjanjian kerja bersama oleh kedua belah pihak. 

Kepentingan pekerja berbeda dengan kepentingan pengusaha, kepentingan perusahaan antara lain adalah terpenuhinya kebutuhan hidup, jaminan pelayanan kesehatan, dan juga izin untuk cuti dan libur. Sementara itu, kepentingan perusahaan lebih fokus terhadap peningkatan bisnis yang berkelanjutan, stabilitas perusahaan, serta tegaknya aturan dalam perusahaan. 

Perbedaan kepentingan antara perusahaan dengan pekerjanya seringkali menimbulkan perselisihan hubungan industrial. Perselisihan yang sering terjadi adalah seperti perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan juga perselisihan antar pekerja. Perselisihan yang tidak diselesaikan dengan baik dapat menyebabkan dampak negatif yang lebih besar bagi kedua belah pihak.

Namun perselisihan industrial dapat diselesaikan dengan beberapa cara, antara lain yaitu mediasi, konsiliasi, arbitrasi, hingga ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Penerapan Etika Bisnis saat pandemi COVID-19

Pada masa pandemi saat ini menimbulkan banyaknya masalah di tengah hubungan industri khususnya ketenagakerjaan. Tenaga kerja indonesia dihadapi dengan berbagai rintangan untuk bertahan menghidupi keluarga dan dirinya sendiri di era yang tidak menentu. 

Dengan banyaknya perusahaan yang memberlakukan Work From Home (WFH), yang diartikan sebagai sebuah konsep kerja dimana karyawan dapat melakukan pekerjaan dari rumah. Maka tidak sedikit perusahaan yang memotong gaji, hanya membayar gaji pokok atau tunjangan saja. Sedangkan perusahaan yang masih menerapkan Work From Home (WFO) malah menjadi zona penyebaran Covid-19. Selain itu, pandemi ini juga dapat menimbulkan berlakunya asas no work no pay dimana pekerja tidak berhak mendapatkan upah apabila tidak bekerja. 

Tidak sedikit juga perusahaan yang akhirnya memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hak Kerja (PHK). Masalah-masalah ini menimbulkan kerugian dan gejolak di kalangan tenaga kerja. Maka dari itu, sangat diperlukan nya prinsip etika bisnis dalam menjaga hubungan industrial. 

Hal yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah bersikap empati terhadap tenaga kerja dengan mengedepankan prinsip etika-etika bisnis. Kebijakan atas suatu hubungan tenaga kerja harus berdasarkan etika bisnis seperti pemotongan dan penanggungan upah yang sah yang berdasarkan akan undang-undang. Perusahaan juga dilarang melakukan PHK secara semena-mena dalam situasi apapun, termasuk dalam kondisi pandemi.

Keputusan harus berdasarkan analisis dan bukti audit yang kuat serta harus tetap mengakomodasi kebutuhan pekerja. Apabila perusahaan memutuskan untuk menerapkan WFO, perusahaan diwajibkan menjalankan protokol kesehatan untuk menjaga keamanan dan kesehatan tenaga kerja. Hubungan tenaga kerja yang tidak didasari prinsip etika bisnis akan menimbulkan perselisihan yang apabila itu timbul, maka lagi-lagi perusahaan harus menghadapinya dengan prinsip etika bisnis.

Etika bisnis memerlukan enam prinsip umum yang dijadikan dasar dalam melakukan kegiatan dan tujuan bisnis. Menurut Muslich (1998:31-33) mengemukakan prinsip-prinsip etika bisnis sebagai berikut :

1. Prinsip Otonomi

Prinsip otonomi memandang bahwa perusahaan secara bebas memiliki wewenang sesuai dengan bidang garap yang dilakukan dengan pelaksanaanya dengan visi dan misi yang dimilikinya. Dalam melaksanakan aktivitasnya, perusahaan tidak terpengaruh atau bergantung pada pihak atau lembaga lain yang dapat merugikan kedua belah pihak. Kebijakan yang ditetapkan oleh perusahaan harus diarahkan pada upaya pengembangan visi dan misi perusahaan yang berorientasi pada kemakmuran, kesejahteraan para pekerja ataupun komunitas yang dihadapinya.

2. Prinsip Kejujuran

Kejujuran diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan serta membangun bisnis yang profesional berkaitan dengan stakeholders yang terkait dalam menjalin relasi bisnis. Prinsip kejujuran di dalam kegiatan bisnis diaplikasikan ke dalam perjanjian kontrak kerja, penawaran barang, hubungan kerja dengan perusahaan lain, dan hubungan dengan tenaga kerja.

3. Prinsip Tidak berniat jahat

Prinsip tidak berniat jahat erat kaitannya dengan prinsip kejujuran. Apabila kejujuran dapat diterapkan, maka keinginan perusahaan untuk bertindak jahat dapat diredam. Tindakan jahat tentu tidak akan membuat perusahaan dalam membangun kepercayaan masyarakat, justru kejahatan dalam berbisnis akan menghancurkan perusahaan itu sendiri.

4. Prinsip Keadilan

Prinsip ini menganjurkan perusahaan untuk berlaku adil kepada pihak-pihak yang terkait dengan sistem bisnis. Sebagai contoh, perusahaan memberian pelayanan yang sama pada konsumen yang membayar dengan harga yang sama, memberikan gaji atau upah yang adil kepada karyawan sesuai dengan kontribusi yang diberikannya.

5. Prinsip Hormat pada Diri Sendiri

Prinsip ini memandang perlunya meningkatkan citra perusahaan melalui prinsip kejujuran, tidak berniat jahat, dan berlaku adil. Menjaga nama baik (citra) merupakan pengakuan atas keberadaan perusahaan tersebut, sehingga prinsip-prinsip lainnya dengan sendirinya akan terbangun pula.

6. Prinsip Saling Menguntungkan

Prinsip ini berarti bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan harus dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Prinsip ini bukan prinsip bersyarat seperti semua pihak tidak merasa rugi. Prinsip ini membutuhkan hak untuk manfaat dari kegiatan bisnis seperti mengakomodasi sifat dan tujuan bisnis.

Penulis : Aprilia Astuti & Andi Saputra

Dosen Pembimbing : Agustiawan, SE., M.Sc., Ak.

(Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Riau)

Berita Lainnya

Index