Sejarah, Hancurnya Orde Baru

Sayonara Diktator

Sayonara Diktator
Ilustrasi

JAKARTA - Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran dirinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Pidato yang menandai berakhirnya era orde baru setelah berkuasa selama 32 tahun. Ya hari ini 22 tahun lalu, 21 Mei 1998, Presiden ke-2 Republik Indonesi Soharto mengundurkan diri dari jabatannya setelah sebelumnya terpilih kembali untuk ketujuh kalinya. 

 

Dikutip dari kompas.com, mundurnya Soeharto ini merupakan puncak dari kerusuhan dan aksi protes di berbagai daerah dalam beberapa bulan terakhir. 

 

Berikut isi pidato pengunduran diri Presiden Soeharto: 

 

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998. Kabar mundurnya Soeharto itu pun disambut gembira oleh kerumunan massa yang telah menduduki Gedung DPR dan MPR.

 

Harian Kompas, 22 Mei 1998, menggambarkan, para mahasiswa yang mengerumuni pesawat televisi di Lobi Lokawirasabha DPR berteriak dan bersuka cita begitu mendengar Presiden Soeharto mundur. Mereka berlarian ke tangga utama DPR sambil menyanyikan lagu Sorak-sorak Bergembira. Seiring berkumandangnya lagu kebangsaan Indonesia Raya, mereka pun menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang menjadi satu tiang penuh.

 

Jaket almamater yang berwarna-warni dilepaskan karena mereka beranggapan bahwa aksi telah berubah menjadi pesta rakyat. Bahkan, belasan mahasiswa mengekspresikan kegembiraan dengan menceburkan diri ke kolam air mancur di halaman depan Gedung DPR dan MPR.

 

Desakan mundur

 

Mahasiswa melakukan unjuk rasa dengan menduduki Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Mei 1998.(KOMPAS/EDDY HASBI).

 

Krisis ekonomi yang tak kunjung membaik sejak 1997 dan terpilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden RI pada Maret 1998 memantik situasi memanas di penjuru negeri. Serangkaian unjuk rasa dan aksi protes terjadi di berbagai daerah. Korban pun mulai berjatuhan. 

 

Dengan situasi itu, sejumlah pihak mulai mendesak Soeharto untuk mundur dari jabatannya, di antaranya berasal dari pimpinan DPR, baik ketua maupun wakil. Harapan itu disampaikan oleh Ketua DPR dan MPR Harmoko ketika memberikan keterangan pers yang hanya berlangsung selama lima menit. 

 

Saat membacakan satu halaman keterangan persnya itu, Harmoko didampingi seluruh Wakil Ketua DPR atau MPR yakni Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid. 

 

"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, Pimpinan Dewan baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 19 Mei 1998. 

 

"Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mewujudkan keamanan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional," sambungnya. 

 

Usai menyampaikan keterangan persnya, Harmoko dengan ekspresi wajah tanpa senyum, bergegas meninggalkan ruangan tanpa bersedia diwawancara lagi.

 

Sejak 18 Mei 1998, puluhan ribu mahasiswa dari perguruan tinggi di wilayah Jabodetabek telah berhasil "menduduki" Gedung DPR dan MPR. Mereka bukan saja memadati pelataran DPR, tetapi juga menaiki kubah gedung, memenuhi taman-taman, lorong-lorong maupun ruangan lobi. 

 

Ini merupakan demonstrasi terbesar yang pernah dilakukan mahasiswa selama 30 tahun terakhir. Selain mahasiswa, sejumlah tokoh tampak hadir berbaur dengan kerumunan massa, seperti pakar hukum tata negara dan anggota Komnas HAM Prof Dr Sri Soemantri, tokoh "Malari" dr Hariman Siregar, dan lain-lain. 

 

Berbagai organisasi kemasyarakatan, pemuda, keagamaan, dan mahasiswa yang berada di gedung maupun di luar gedung DPR sepakat, agar ABRI bertindak dan berpihak kepada rakyat. Mereka mendesak agar MPR segera mengadakan sidang istimewa agar krisis ekonomi dan politik segera teratasi, dan kepercayaan masyarakat kembali pulih. Selain itu, mereka juga meminta agar tindakan represif terhadap pers, khususnya kepada televisi dan radio swasta dihentikan. (***)

Berita Lainnya

Index