PEKANBARU - Pegiat Lingkungan Riau Tommy Freddy Simanungkalit menilai bahwa gagalnya eksekusi perusahaan sawit PT Peputra Supra Jaya yang telah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung merupakan preseden buruk dalam penegakan hukum bidang lingkungan hidup di Bumi Lancang Kuning.
Tommy kepada wartawan di Pekanbaru, Rabu mengatakan bahwa gagalnya eksekusi itu tidak selaras dengan semangat pemerintah provinsi Riau dalam memberangus perkebunan ilegal yang kini cukup marak di wilayah itu.
"Putusan MA sudah inkrah dan sudah seharusnya dilakukan eksekusi. Namun hingga kini belum juga terlaksana," kata dia.
Dia menuturkan seharusnya pemerintah yang memiliki perangkat TNI dan Polri dengan mudah dapat melakukan eksekusi karena telah berkekuatan hukum tetap. Dia juga meminta agar penertiban lahan itu dijadikan sebagai percontohan ketegasan dalam menertibkan perkebunan ilegal.
Lebih jauh, Tommy juga menyinggung bahwa penegak hukum harus lebih terbuka dengan upaya hukum yang bertanggung jawab dalam perkara ini. Dia mengatakan telah memantau jalannya proses persidangan.
Ada satu nama yang muncul sejak sidang digelar yakni Sudiono. Namun, hingga putusan eksekusi keluar dia mengatakan tidak diketahui secara jelas tindakan hukum yang ditetapkan kepada Sudiono.
"Apakah dia sudah ditahan, atau diberikan denda atau apa kita tidak tahu," ujarnya.
Untuk itu, dia kembali meminta agar putusan MA dapat dilaksanakan secepat mungkin dan menjadi contoh nyata serta tegas dalam penegakan hukum pelanggaran lingkungan di Riau.
"Kalau sudah ada putusan MA laksanakan, kalau ada yang halangi itu ada hukuman tertentu," tegasnya.
Sebelumnya eksekusi lahan PT Peputra Supra Jaya (PSJ) yang berada di Desa Pangkalan Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan batal karena dihalangi oleh ratusan masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani mitra naan PT PSJ
Informasi yang dihimpun, massa yang tergabung dalam kelompok tani mitra PT PSJ itu telah melakukan aksi penolakan eksekusi lahan sejak hari Minggu (12/1/2020) malam dengan cara memasang spanduk penolakan eksekusi, selain itu masyarakat juga menginap dilokasi lahan yang akan di eksekusi.
Eksekusi lahan PT PSJ seluas 3.323 hektare itu seharusnya dilakukan oleh tim gabungan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau, Dinas Kehutanan, Polres Pelalawan, dan instansi terkait lainnya pada hari Senin (13/1/2020) tertunda karena penolakan yang dilakukan oleh masyarakat yang mengaku dari kelompok tani tersebut.
Dengan alasan untuk menghindari terjadinya keributan antara petugas dan masyarakat yang berada di lokasi dan direncanakan akan dilakukan mediasi pada hari Jumat (17/1/2020) mendatang di Mapolres Pelalawan.
Menanggapi hal tersebut, Ahli hukum pidana Dr. Muhammad Nurul Huda, SH. MH mengatakan, seharusnya aksi penolakan eksekusi tidak terjadi, karena eksekusi tersebut adalah hal yang harus dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dimana eksekusi lahan ilegal milik PT PSJ itu berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) nomor 1087/Pid.Sus.LH/2018 tanggal 17 Desember 2018 atas gugatan PT NWR.
"Kan sudah jelas putusannya itu hal yang legal kenapa masyarakat mengintervensi putusan tersebut. Seharusnya negara jangan mau kalah dari orang-orang yg tidak taat pada putusan pengadilan. Saya pikir PSJ mestinya mengedukasi masyarakat yg berkonflik untuk menyelesaikan persoalan itu secara hukum, bukannya malah memancing masyarakat untuk terlibat dalam keributan yang seharusnya tidak perlu dilakukan," terang Nurul Huda.
Selanjutnya Nurul Huda menegaskan, hal tersebut merupakan tindakan yang tidak baik, karena Indonesia adalah negara hukum maka sudah selayaknya masyarakat patuh dan tunduklpada mekanisme hukum yang telah ada, jika hal itu terus berlanjut maka akan ada konsekwensi hukum yang harus diterima bagi orang yang tidak taat hukum.
"Jangan lupa ada ancaman pidana bagi pihak-pihak yang menghalangi eksekusi putusan pengadilan, itu bisa dipenjara satu tahun atau empat bulan, hal ini tertuang dalam pasal 212 atau 216 KUHPidana," tutup Dosen Pascasarjana UIR itu. (Src1)