PEKANBARU - Seorang siswa SD 108 Tangkerang Labuai, Pekanbaru, berinisial MAR, meninggal dunia, Minggu (16/11/2025) kemarin. Keluarga menduga kuat kematiannya dipicu aksi bullying (perundungan, red) yang dilakukan teman sekolahnya.
Kuasa hukum keluarga, Suroto, mengatakan peristiwa berawal pada Kamis (11/11/2025), saat korban pulang sekolah dalam kondisi menangis. Namun saat itu korban belum berani mengungkap penyebabnya.
"Jumat siang korban tiba-tiba lumpuh. Saat itu ia baru bercerita kalau kepalanya ditendang murid berinisial FP saat belajar kelompok di kelas," ujar Suroto.
Menurutnya, tindakan kekerasan tersebut disaksikan oleh teman korban berinisial AK dan sudah dilaporkan ke wali kelas, namun disebut tidak mendapat tindak lanjut.
Suroto mengungkap bahwa ini bukan kejadian pertama. Pada pertengahan Oktober 2025, korban juga disebut dipukul murid lain berinisial SM hingga mengalami luka di dada.
"Korban sempat dirawat di rumah sakit selama satu minggu," kata Suroto.
Saat itu sekolah memang memfasilitasi pertemuan kedua orang tua, namun keluarga menilai penyelesaian tidak tuntas. Ia juga menyebut menerima laporan dari wali murid lain bahwa kekerasan antar siswa kerap terjadi di sekolah tersebut.
Karena kondisi memburuk, keluarga membawa korban ke pengobatan alternatif lalu ke puskesmas. Namun layanan kesehatan tidak tersedia karena hari Sabtu. Korban akhirnya dirawat di rumah hingga mengembuskan napas terakhir keesokan harinya.
Wali Kota (Wako) Pekanbaru, H Agung Nugroho SE MM hadir langsung ke rumah duka, MAR (13) korban yang meninggal dunia diduga akibat bullying, Minggu (23/11/2025) malam.
Wako Agung ingin memastikan dan mengecek langsung kondisi di sana. Ia juga ingin mengetahui peristiwa apa yang dialami murid SD 108 Pekanbaru itu.
"Abis maghrib saya datang, warga kalau ada yang meninggal atau sakit saya membiasakan untuk datang. Tadi saya di laporkan ada anak yang meninggal, dan berbincang dengan keluarga," ujarnya.
Wako Agung bersama Ketua TP PKK Pekanbaru, Hj Sulastri Agung melakukan takziah di rumah duka. Agung juga menyatakan pemerintah kota siap membantu apa yang dibutuhkan keluarga.
Sementara penyebab apakah korban meninggal dunia akibat bullying belum bisa dipastikan. Saat ini Deswita, orangtua korban sudah mengikhlaskan kepergian korban.
Orangtua korban menyatakan bahwa MA sebelumnya memiliki penyakit bawaan. Korban diketahui memiliki riwayat penyakit jantung dan rematik.
Deswita juga mengucapkan terimakasih atas kedatangan Wako Pekanbaru, Agung Nugroho dan jajaran pemerintah kota yang langsung hadir bertakziah dan memastikan kondisi sebenarnya.
Membabntah dugaan adanya bullying, Kepala Sekolah (Kepsek) SDN 108 Tangkerang Labuai, Artina, tegas membantah adanya praktik perundungan di sekolah. "Tidak ada praktik bully di sekolah kita. Semua dalam pengawasan. Setiap pagi saya selalu ingatkan jangan membully, jangan melakukan kekerasan," jelasnya.
Ia menyebut almarhum merupakan siswa yang dikenal baik, pendiam, dan lemah dalam pelajaran. Artina mengaku pihak sekolah baru menerima kabar meninggalnya korban sehari sebelumnya.
Meski begitu, ia memastikan pengawasan akan diperketat. "Supaya tidak ada lagi bullying, mulai sekarang pengawasan akan diperketat. Kami tidak ingin kejadian seperti ini terulang," tegasnya.
Hingga kini keluarga masih mempertimbangkan langkah hukum. Suroto mengatakan opsi autopsi terbuka, namun keluarga belum siap. "Kalau masuk proses hukum harus autopsi dan makam dibongkar. Keluarga belum sanggup. Mereka menunggu itikad baik dari sekolah dan orang tua pelaku," ujarnya.
Ditinjau dari segi hukum
Pengamat hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Riau, Erdiansyah SH MH, menegaskan bahwa tindakan perundungan, baik fisik maupun verbal, masuk kategori tindak pidana berdasarkan undang-undang yang berlaku.
"Jika kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 juncto UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bullying jelas termasuk tindak pidana kekerasan terhadap anak," ujarnya kepada riauaktual.com, Senin (24/11/2025).
Menurutnya, istilah kekerasan terhadap anak tidak hanya terbatas pada luka fisik, tetapi juga mencakup penderitaan psikis, tekanan mental, hingga pengucilan sosial. Semua bentuk tindakan tersebut secara tegas dilarang dalam Pasal 76C UU Perlindungan Anak.
"Bullying berupa ejekan, intimidasi, penghinaan, maupun pengucilan sosial tetap dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikis. Dan itu dapat dipidana berdasarkan Pasal 80 UU Perlindungan Anak," jelasnya.
Menanggapi status pelaku yang masih berusia anak-anak, Erdiansyah menegaskan bahwa hukum tetap memberi ruang pertanggungjawaban pidana melalui Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) Nomor 11 Tahun 2012.
"Anak yang berusia 12 sampai 18 tahun tetap bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Tetapi mekanismenya berbeda, karena negara mengedepankan diversi dan restorative justice," kata Erdiansyah.
Namun, apabila pelaku masih di bawah usia 12 tahun, maka proses hukum tidak dapat diarahkan pada pemidanaan, melainkan tindakan pembinaan.
"Jika pelaku di bawah 12 tahun, penyelesaiannya bersifat edukatif, bukan represif. Namun perbuatannya tetap diakui sebagai tindak pidana," tambahnya.
Erdiansyah juga menyoroti tanggung jawab pihak sekolah dalam kasus ini. Ia menyatakan, guru maupun tenaga pendidik memiliki kewajiban hukum melindungi peserta didik selama berada dalam lingkungan pendidikan.
"Jika terbukti ada pembiaran atau kelalaian pihak sekolah, maka itu bukan hanya kesalahan administratif. Secara hukum, dapat dikategorikan sebagai turut serta melakukan atau membiarkan tindak pidana kekerasan terhadap anak," terangnya.
Selain pidana, lanjut dia, sekolah juga berpotensi menghadapi sanksi administratif hingga gugatan perdata dari keluarga korban.
"Orang tua korban bisa menggugat perbuatan melawan hukum apabila ada unsur kelalaian dalam memberikan perlindungan," ucapnya.
Kasus ini, menurutnya, harus menjadi momentum evaluasi besar terhadap sistem pengawasan dan mekanisme penanganan bullying di sekolah-sekolah.
PGRI Turut Komentari
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Pekanbaru angkat bicara terkait kasus dugaan perundungan yang menyeret murid sekolah dasar dan tengah menjadi sorotan publik.
Organisasi profesi guru tersebut menyampaikan keprihatinan sekaligus meminta sekolah untuk memperketat pengawasan terhadap peserta didik.
Ketua PGRI Kota Pekanbaru, Miftahudin, mengatakan kasus tersebut harus menjadi evaluasi bersama, baik bagi sekolah, guru, maupun pemangku kepentingan pendidikan.
enurutnya, guru memegang peran penting dalam menjaga kondisi sosial dan psikologis siswa agar potensi bullying dapat terdeteksi sejak awal.
"Terkait kasus yang baru saja kita lihat, kami dari PGRI sangat prihatin. Kami berharap kepala sekolah dan rekan-rekan guru lebih memperhatikan peserta didik agar kejadian seperti ini tidak terulang," ujarnya, Senin (24/11/2025).
PGRI juga menyatakan siap mendampingi pihak sekolah yang kini tengah menangani kasus tersebut.
"Kami berharap proses penanganan berjalan bijak dan segera menemukan penyelesaian terbaik. Keselamatan serta kenyamanan peserta didik menjadi prioritas utama," tambahnya.
Lebih jauh, PGRI Kota Pekanbaru menegaskan akan terus berkoordinasi dengan sekolah dan pemerintah daerah untuk memperkuat pembinaan karakter serta menciptakan lingkungan belajar yang aman.
Pesan Terakhir MAR sangat menyentuh
"Korban menyampaikan pesan kepada ibunya, minta untuk dimandikan dan digelarkan tikar, karena nanti rumah akan ramai," kata kuasa hukum keluarga, Suroto selaku Kuasa Hukum keluarga MAR, Senin (24/11/2025).
"Awalnya keluarga tidak ingin membawa kasus ini jauh, apalagi menunjuk kuasa hukum. Namun kami dorong agar kasus ini diungkap agar menjadi evaluasi bagi Pemerintah Kota Pekanbaru," jelas Suroto.
Peristiwa yang diduga memicu kondisi kritis korban terjadi pada Kamis (13/11/2025). Saat kegiatan belajar kelompok, salah satu murid berinisial FT disebut tiba-tiba menendang kepala korban.
Aksi itu disaksikan murid lain berinisial ARK yang kemudian melapor ke wali kelas. Namun respons yang diterima hanya "tunggu".
Sepulang sekolah, MAR menangis dan mengaku tak ingin kembali ke sekolah karena mengalami bullying.
Keesokan harinya, kondisi MAR memburuk. Ia diduga mengalami gangguan pada bagian otak.
Keluarga sempat membawa korban ke pengobatan alternatif karena keterbatasan biaya, tetapi kemudian diarahkan untuk ke fasilitas kesehatan.
"Korban akhirnya dibawa ke puskesmas, tapi karena hari Sabtu puskesmas tutup, korban dirawat di rumah," jelas Suroto.
Ternyata, dugaan bullying bukan pertama kali dialami korban. Pada Oktober 2025, MAR juga diduga dipukuli murid lain berinisial SM, hingga harus dirawat di rumah sakit selama seminggu.
"Waktu itu pihak sekolah sudah mempertemukan orang tua pelaku dan orang tua korban. Orang tua pelaku meminta maaf," katanya.
