"Ngalap Berkah" dari Sampah Asal Amerika

sampah asal amerika. ©Shashank Bengali / Los Angeles Times

SERAMBIRIAU.COM - Sebuah desa di Jawa Timur pasti kurang dikenal oleh orang Amerika Serikat. Tapi warga di desa yang terletak di antara perkebunan kacang dan pabrik kertas itu merasa dekat dengan Negeri Paman Sam nun jauh di seberang benua. Semua itu berkat sampah asal Amerika.

Warga desa Bangun, Jawa Timur, kerap menemukan sisa bungkus Oreo, Trader Joe's, bekas DVD Lord of the Rings dan botol sampo bekas. Mereka bahkan pernah menemukan lembaran uang USD 20 di antara tumpukan sampah.

"Kadang memang bikin takjub juga sampah-sampah yang dibuang orang Amerika ini," kata Eko Wahyudi, 43 tahun, seperti dilansir laman LA Times, akhir bulan lalu.

Eko adalah salah satu pemulung sampah di Bangun, desa dengan sekitar 1.500 kepala keluarga. Bangun menjadi desa tujuan akhir penampungan sampah yang bernilai lebih dari USD 1,5 miliar per tahun.

Amerika Serikat dan sejumlah negara kaya sudah sejak lama mengirim kapal kargo berisi sampah ke negara-negara Asia. Di negara-negara tujuan itu sampah dipilah-pilah dan didaur ulang untuk menjadi bahan bakar industri bahan mentah. Indonesia mengimpor banyak sampah kertas bekas untuk dijadikan kardus.

Sudah jadi rahasia umum di dunia perdagangan sampah, di antara sampah-sampah kertas bekas yang dikirim itu selalu ada campuran sampah rumah tangga yang tidak bisa diolah untuk industri manufaktur.

Tapi meski begitu, tetap saja sampah-sampah yang tak bisa diolah itu masih bernilai di Indonesia. Pabrik kertas menjual sampah yang tak bisa diolah itu ke desa-desa terdekat dan industri rumahan menampung sampah-sampah tersebut untuk mengambil sisa-sisa barang yang masih bernilai.

Tanpa sampah orang desa menderita

Di Bangun, dari 1.500 keluarga sebagian besar menggantungkan asap dapur mereka dari sampah. Para pemulung biasanya mencari bekas kaleng alumunium, kabel tembaga, dan bahan plastik keras yang bisa dibersihkan dan dijual lagi ke pabrik untuk industri.

Tapi sampah-sampah yang tidak bisa dijual lagi seperti botol soda, kantong plastik, kemasan makanan akhirnya berakhir di timbunan setinggi pohon dan membuat desa itu lebih mirip tempat pembuangan sampah.

Tapi kondisi itu mungkin tidak akan bertahan lama.

Di tengah tekanan kelompok pembela lingkungan, Indonesia dan negara Asia lainnya sudah mulai memperketat masuknya sampah impor untuk mengurangi polusi, pencemaran lingkungan.

Sejak Juni lalu pemerintah Indonesia sudah mengirim balik lebih dari 330 kontainer sampah ke negara asalnya, termasuk 148 kontainer dari Amerika Serikat karena alasan pengiriman sampah itu melanggar ketentuan tentang impor sampah rumah tangga atau sampah berbahaya.

Para pembela lingkungan tentu gembira mendengar kabar itu. Tapi warga Bangun punya reaksi lain.

"Sampah dari Amerika berarti pekerjaan di sini," kata Eko yang kini punya pegawai 20 orang untuk memilah sampah dan membayar mereka sekitar Rp 50.000 per hari.

Karena pendapatan berkurang drastis hingga 80 persen tahun ini, Eko tak bisa mempertahankan pegawainya dan mereka kini hanya bekerja paruh waktu.

"Orang-orang di sini bergantung dari penjualan sampah, baik orang kaya atau miskin. Tanpa sampah, orang desa menderita."

Petani plastik

Penjualan sampah dimulai di Bangun pada 1980 ketika industri kertas membuka pabrik di dekat desa itu. Warga desa yang selama bergenerasi bertani menanam padi dan kacang kemudian menyadari mereka bisa mendapat uang lebih cepat dengan cara bergumul di tengah timbunan sampah untuk memulung barang yang masih bernilai buangan dari pabrik.

Sekarang mereka menyebut pekerjaannya adalah petani plastik.

"Dapat uangnya lebih banyak dari sampah dan kita tidak perlu menunggu sampai panen," kata Misna, perempuan berusia 40-an tahun yang bekerja sebagai pemulung sampah sejak dia remaja.

Misna kini sudah terbiasa menyeret gerobak mengarungi timbunan sampah sampai kakinya terbenam untuk menemukan barang yang masih bisa dijual. Di sekitar Misna, sisa-sisa kantong plastik beraroma tidak sedap melayang-ayang tertiup angin sore yang panas. Bekas bungkus permen terbawa angin seperti kupu-kupu.

Misna terlihat memperhatikan sebuah truk yang baru tiba membawa tumpukan sampah. Sekelompok pemulung membeli tumpukan sampah sebanyak satu truk itu seharga sekitar Rp 200.000. Mereka berharap dengan memilahnya dan menjualnya lagi bisa mendapatkan dua kali lipat dari harga beli.

Misna duduk di samping cucu perempuannya berusia tujuh tahun sambil memilah segunduk sampah di depannya. Dia mulai memisahkan sampah plastik dan memasukkannya ke keranjang. Tutup botol alumunium, tutup botol deterjen dan jenis plastik keras lainnya juga dikumpulkannya. Tapi sebagian besar dari isi sampah dari truk itu tidak akan bernilai dan hanya menambah timbunan sampah yang sudah ada.

Bahkan sebagian sampah plastik itu menjadi bahan bakar untuk membuat tahu.

Pabrik tahu

Hanya beberapa kilometer dari Bangun, sebuah truk baru saja mengirimkan sekian karung sampah plastik di jalan masuk sebuah pabrik beratap seng milik Budi Santoso.

Beberapa saat kemudian seorang pekerja bertelanjang dada mencampur plastik-plastik sampah itu dengan serbuk gergaji dan menyalakan api lalu mulai menggoreng tahu di sebuah wajan besar. Tahu-tahu itu kemudian Budi jual ke warung-warung di sekitar pabrik.

"Saya tahu bahan bakar kayu lebih bagus, tapi plastik harganya setengahnya dan mudah didapat," kata Budi, 39 tahun. Dia dan pekerjanya tak ada yang mengeluhkan dampak penyakit dari asap sisa pembakaran plastik.

Jual-beli sampah sudah membuat keluarga Bangun cukup sejahtera sampai bisa berangkat haji dan membiayai sekolah anak-anaknya.

Sejumlah warga mengeluhkan debu dari truk sampah atau asap yang membubung di langit desa ketika plastik dibakar. Tapi sebagian penduduk cukup bangga hidup dengan sampah dan mengatakan para pekerja dari desa sekitar justru berdatangan ke desa mereka.

"Awalnya ketika orang datang ke sini mereka merasa jijik," kata Suwarno, 42 tahun, sekretaris desa. "Tapi setelah beberapa lama mereka melihat kenyataannya, mereka bisa mendapat uang."

Suwarno sudah 20 tahun bekerja sebagai teknisi di pabrik kertas dan kini tiap malam dia memilah sampah di rumahnya. Dia mengabaikan risiko kesehatan dan mengatakan orangtuanya hidup sampai usia 60 tahun.

"Orangtua saya meninggal karena diabetes. Itu penyakit orang kaya," kata dia.

Pengiriman sampah dengan truk ke Desa Bangun yang tadinya bisa sampai 10-15 truk sehari kini turun hingga hanya beberapa kali dalam seminggu. Sampah-sampah yang dikirim sekarang berasal dari negeri sendiri, termasuk sampah rumah tangga dari plastik yang kualitasnya lebih rendah dan harganya murah ketimbang sampah dari negara Barat.

Tahun lalu pemulung bisa mendapat Rp 100.000 sehari tapi kini mereka hanya meraup sekitar Rp 15.000 sehari.

Masalah akibat sampah

Menurut data Bank Dunia, kota-kota di Indonesia rata-rata menghasilkan 115 ribu ton sampah per hari, sekitar 85 persennya tidak bisa didaur ulang dan diyakini berakhir di lautan dan permukaan air sungai.

Tahun lalu kelompok konservasi Ecoton menelusuri jejak mikroplastik yang ditemukan pada tubuh ikan di sungai. Rupanya mikroplastik itu berasal dari sampah popok yang dibuang ke Sungai Brantas, Jawa Timur.

"Sampah dari negara luar memperburuk kondisi ini," kata Prigi Arisandi dari Ecoton.

Impor sampah Indonesia melonjak pada 2018 di urutan kedua setelah China. Negeri Tirai Bambu selama ini memang menjadi penampung sampah-sampah dari negara Barat tapi kini melarang semua sampah dari luar negeri karena alasan lingkungan.

Data perdagangan tahun lalu menyatakan AS mengekspor 452 ribu ton sampah kertas tanpa sortir ke Indonesia, lebih banyak ketimbang tiga tahun sebelumnya digabungkan.

Sebagian besar sampah impor itu dibeli oleh 24 pabrik kertas di pesisir Provinsi Jawa Timur. Sampah impor itu masuk dari Pelabuhan Tanjung Perak yang minim pemeriksaan bea cukai. Kelompok pembela lingkungan mengatakan sampah plastik yang menumpuk di desa-desa kini terbuang ke Sungai Brantas.

April lalu Prigi membayar sekitar Rp 3,5 juta untuk membeli 1,6 ton sampah dari sebuah pabrik kertas.

Anggota Ecoton kemudian menemukan sebagian sampah itu diimpor dari AS. Salah satu sampah diketahui adalah bekas koran Tampa Bay Times edisi 26 Februari. Dan Ecoton juga menemukan kemasan yang asalnya dari Kanada dan Inggris.

Setelah melaporkan temuannya, pihak bea cukai kemudian menyita 127 kontainer yang dibeli pabrik kertas itu dari perusahaan Amerika. Eksportir kemudian sepakat untuk mengambil kembali kontainer itu dan akhirnya kontainer sampah itu dikirim lagi ke Amerika pada Juli dan Agustus lalu.

Hingga pertengahan Oktober tidak ada importir yang dihukum karena melanggar aturan karena mengimpor sampah beracun. Pemerintah juga tidak mengetahui apakah eksportir asing mendapat hukuman.

Pihak Amerika mengatakan mereka kecewa karena kontainer berisi sampah beracun itu bisa terkirim tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa buat mencegah transaksi. Amerika mendesak Indonesia untuk memperketat aturan impor.

Ekspor sampah kertas Amerika ke Indonesia merosot drastir dari 53.000 ton pada Februari menjadi hanya 1.200 ton pada Agustus, angka terendah dalam 15 tahun.

"Negara-negara itu harusnya menyortir sendiri sampah mereka dan bukannya mengirimkan sampah beracun ke Indonesia," kata Alvina Christina Zebua, petugas bea cukai di Pelabuhan Tanjung Perak.

Penduduk desa Bangun masih belum menyerah dengan kondisi saat ini. Mereka masih berharap bisa mencari nafkah atau "ngalap berkah" dari sampah.

"Bagi orang-orang sini, tidak ada yang lebih berharga dari sampah," kata Suwarno. "Masih ada harapan sampah dari luar negeri bisa balik lagi."

Sumber : Merdeka.com

Berita Lainnya

Index