Keragaman adalah keindahan yang tumbuh subur di tanah air tercinta Indonesia. Keragaman bukan hanya terkait suku, Bahasa, dan adat istiadat, tetapi juga khasanah keagaan Islam. Keragaman tersebut menunjukkan kekayaan yang mampu mendewasakan 270 juta jiwa manusia Indonesia. Sebuah jumlah warga bangsa yang telah menempatkan Indonesia sebagai penduduk terbesar ke-4 didunia. Hal ini cukup menjadi kurikulum belajar bagi bangsa Indonesia untuk terampil dalam bersikap, saling menghargai dan menjaga. Cerdas dalam berfikir, dengan perspektif yang holistic dan konstruktif. Pandai dalam menempatkan diri, bagaimana ‘diriku tetap menjadi diriku, dengan tanpa mendesak dan melukai diri lain yang berbeda’.
Momentum Iedul Fitri 1444 H adalah salah satu bentuk kegaraman yang indah dan menyejukkan dalam wajah dan khasanah keagamaan di Indonesia. Sebagaimana yang sudah-sudah, terjadi perbedan pendapat dalam penetapat 1 Syawal 1444 H, terutama antara Persyarukatan Muhammadiyah dengan Pemerintah. Penting untuk difahami, perbedaan ini bukanlah pertentangan, melainkan dinamika keagaamaan Islam yang lebih bersifat Ilmiah ( penentuan hilal) sebagai dasar fiqih dalam beribadah (Shalat Iedul Fitri).
Momentum ini sesungguhnya memiliki hikmah yang sangat besar bagi umat Islam di Indonesia, diantara hikmeh tersebut antara lain:
Pertama, menunjukkan kepada semua umat bahwa Islam adalah agama yang ditegakkan bukan semata atas dasar keyakinan insaniyah semata, tetapi Islam adalah agama yang ditegakkan atas dasar kebenaran ilmiah yang dibimbing oleh wahyu. Islam adalah agama yang berdiri diatas kebenaran yang kemudian diyakini sebagai pedoman, bukan keyakinan yang dibenarkan sebagai sebuah diktris.
Kedua, memberikan semangat kepada umat Islam secara khusus untuk memahami ajaran agamanya secara utuh dan mendalam. Pemahaman keagaan menjadi dasar pelaksaan ibadah, sehingga jauh dari keraguan, dan taklid buta.
Hal inilah yang menjadikan eksistensi agama dalam diri sertiap muslim menjadi kokoh dan murni.
Ketiga, pemahaman keagamaan yang utuh dan mendalam, mengantarkan seluruh umat pada sikap keagamaan yang bijak, penuh penghargaan, toleransi, dan saling menjaga (tasamuh).
Hal ini terjadi karena setiap kita menjadi fahal mengapa Persyarikatan Muhamamdiyah menetapkan hari Jum’at tanggal 21 April 2023 sebagai awal Syawal 1444 H, dan pemerintah pada hari berikutnya, Sabtu 22 April 2023. Masing-masing telah mampu menjawab dengan ilmu dan ketentuan Fiqih yang dapat diertanggungjawabkan.
Sudah difahami oleh kebayakan umat Islam, bahwa penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal dapat ditegakkan dengan dua metode. Kedua metode tersebut, masing masing memiliki landasan dalil yang kuat, sehingga dapat dipilih sesuai keyakinan dengan tanpa mengurangi derajad kebenaran dan penghormatan atas metode yang lain.
Metode pertama adalah metode hisab atau perhitungan astronomi. Metode ini menyandarkan pada dalil Al-Qur’an Surat Yunus Ayata ke 5:
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Pada akhir ayat Allah SWT menunjukkan isyarat untuk menentukan ketetapan waktu (Ramadhan dan Syawal) dengan hisab, menghitung. Perhitungan tersebut didasarkan pada pola sistemik pergerakan bumi mengelilingi matahari dan pergerakan bulan mengelilingi bumi.
Pergerakan tata surya tersebut menjadi dasar sistemik karena memiliki pola yang tetap dan selalu berulang (wa qoddarahu manazil). Atas dasar Prinsip inilah maka ketetapan waktu dapat dirediksi secara mate-matis, dengan mengeliminir potensi erorr yang kemungkinan terjadi dari keterbatasan kemampuan indra manusia.
Metode hisab menetapakan perubahan bulan dimulai ketika tergelincirnya bulan dari garis ufuk atau konjungsi bulan, bumi dan matahari, berapapun tingkat derajat ketinggiannya. Momentum sirkuler tersebut tersebut dalam motode hisab dapat diprediksi, sebagaimana ketentuan kalender, jadwal shalat harian, bahkan detik-detik waktu buka puasa dan gerhana.
Metode kedua adalah metode Rukyatul hilal, melihat hilal secara langsung. Metode ini adalah metode ini didasarkan pada Hadits Rasulullah SAW, yang tercatat dalam kitab Bulughul Maram No. 652 dan 653: “Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah, jika kalian melihatnya lagi maka berfitrilah.
Jika hilal tertutup maka genapkanlah (menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih).
Alternatif metode ini adalah alternatif metode yang lebih sederhana namun tidak mengurangi tingkat keutamaan dan keshahihannya. Metode ini diberikan oleh Nabi kepada masyarakat yang masih terbatas dalam kemampuan menghitung sehingga metode yang paling memungkinkan dalam menentukan awal bulan adalah dengan melihat secara langsung (rukyatul hilal).
Metode ini merupakan bentuk kebijaksaan Nabi atas umatnya yang secara jujur menyampaikan keterbatasaanya: “Kami adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan menghitung. Bulan itu kadang begini kadang begitu, yaitu suatu kali 29 hari dan suatu kali 30 hari”. (HR. Buchari)
Kedua metode di atas apada hakikatnya adalah alternatif yang akan selalu dibutuhkan oleh umat Islam sepanjang zaman. Umat Islam akan melewati dinamika zaman yang kadang tenggelan namun kadang juga berjaya. Kedua alternatif tersebut akan menajadi solusi yang selalu ada dalam dinamika masyarakat Islam yang dinamis.
Pada akhirnya kita insyafi, bahwa kedua metode di atas bukan wacana yang pantas untuk dibenturkan atau di perlawankan, tetapi perlu difahamkan kepada umat sehingga terbangun sikap dewasa dan tasamuh, yang indah, dan menggembirakan. Di situlah sepantasnya posisi pemerintah sebagai ulil amri berada.
Penulis: Dr. Santoso, S.S., M.Si
yang merupakan Dekan Fakultas Studi Islam Umri, Wakil Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Provinsi Riau