OPINI

Menakar Pemimpin Rakyat, Jelang Pilkada Serentak

Menakar Pemimpin Rakyat, Jelang Pilkada Serentak
Munawir Mattareng

Oleh: Munawir Mattareng 

Kepala daerah itu hanya satu dari pemimpin. Gubernur ataupun Bupati yang jadi pejabat negara punya kesempatan emas untuk berkontribusi pada negeri. Seseorang disebut sebagai Gubernur atau Bupati karena mengemban amanah rakyat. Negara juga punya ratusan juta rakyat Indonesia yang wajib diurus. Sedangkan Gubernur ataupun Bupati adalah orang yang harus melayani urusan rakyatnya. Klop, bukan ?

Pemimpin yang baik menjadikan nilai kehidupan sebagai perilakunya sehari-hari. Berapa banyak Gubernur ataupun Bupati bisa menjadi pemimpin yang baik ? Gubernur harusnya memang orang berilmu, bisa dikatakan orang yang kantongnya penuh dengan buku. Ilmu hanya di kantong, artinya belum jadi perilaku.

Jadi, ilmu boleh tinggi, tapi mengapa rasa hati juga menjadi tinggi ? memang musuh terbesar seorang pemimpin adalah dirinya sendiri. Jangan biarkan dirinya jadi persoalan besar. Siapa bisa ditaklukkan dirinya dari hasrat dan ego, dia punya potensi jadi pemimpin yang baik.

Sebagai Gubernur atapun Bupati, walikota siapapun harus memilih untuk sekedar jadi pemimpin. Pemimpin itu bicara soal jabatan. Tapi pemimpin bicara soal-soal sifat-sifat kepemimpinan. Problem mengubah tradisi birokrasi jadi lebih profesional bukanlah soal mudah, antara apa yang dirumuskan, apa yang dilakukan, dan apa yang sudah dilakukan sering tak pernah selaras.

Maka sadarilah posisi. Birokrasi bisa sehat dan berfungsi baik asal para petingginya sadar  posisi. Birokrasi adalah benda mati. Perilaku orang yang mengurusnya itu yang mesti dibenahi. Dengan sadar diri, Gubernur ataupun Bupati paham bahwa tanggungjawabnya sangat besar.

Enam Tipe Pemimpin 

Diskusi tentang kepemimpinan semakin sering mengemuka di negeri ini, sehubungan dengan banyaknya pilkada dan moment menjelang pemilu. Banya buku yang membahas teori kepemimpinan (leadership), tetapi kali ini saya akan melihatnya secara singkat dan sederhana saja. 

Setidaknya terdapat enam tipe kepemimpinan yang mudah kita cerna. Satu, umat beriman biasanya merujuk dan mengidentifikasi kepemimpinan para nabi. Para Nabi muncul dari tengah umatnya dengan kekuatan pribadi dan akhlaknya. Namun, di atas semuanya itu, mereka diyakini memproleh dukungan dan bimbingan Allah, serta disertai dengan senjata pamungkas untuk menaklukkan umatnya yang membangkang, yang disebut mukjizat.

Tentu saja warisan ajarannya sangat bagus untuk dicontoh dan dijadikan sumber inspirasi. Namun tidak mungkin menggantikan posisinya karena, bagi umat Islam tidak ada lagi nabi setelah Rasulullah Muhammad Saw, sosok yang hidupnya terjaga dari dosa (maksum).

Dua, pemimpin  berdasarkan keturunan darah biru atau anak raja. Pemimpin tipe ini ada yang hebat, adil, dicintai rakyat, tetapi ada juga yang bengis yang menindas rakyatnya. Bagi Indonesia, kepemimpinan berdasarkan darah biru ini sudah berlalu. Kita tidak lagi hidup di zaman kerajaan. Dulu, kekuasaan raja diperoleh setelah berhasil menaklukkan lawannya, sehingga istana selalu dilindungi tembok yang tinggi serta tentara yang kuat untuk menakuti lawannya yang hendak balas dendam atau hendak menaklukkan.

Tiga, Kepemimpinan intelektual pejuang. Banyak negara yang merdeka setelah Perang Dunia melahirkan pemimpin yang berasal dari tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan. Mereka ini sangat akrab dan mengenal rakyatnya, sehingga ketika duduk menjadi pemimpin dalam tubuh di pemerintahan, sangat mudah berempati dengan pikiran dan perasaan rakyatnya. Semangat perjuangan dan komitmen idiologisnya untuk memajukan bangsa lebih kental ketimbang semangat menikmati jabatan formalnya.

Tipe pemimpin model ini sangat mudah dikenali hari-hari ini adalah sosok Nelson Mandela. Di Indonesia kita juga punya Bung Karno dan Bung Hatta, serta teman-teman seangkatan mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan. Mereka itu pemimpin pejuang yang juga sosok intelektual.

Empat, ada pemimpin bertipe teknokratik-ilmuwan. Mereka menjadi pemimpin karena memiliki kemampuan di bidang ke ilmuwan dan ahli dalam mengendalikan organisasi pemerintahan, layaknya memimpin sebuah perusahaan. Pemimpin negara Singapura mendekati tipe ini. Untuk Indonesia, pemimpin tipe ilmuwan teknokratik ini lebih cocok pada jajaran menteri.

Di sini, profesionalisme sangat ditekankan. Mereka yang paham agenda apa yang mesti dilakukan dan tahu bagaimana cara melakukannya untuk memenuhi tugas yang dibebankan pada jabatannya. Untuk konteks Indonesia, kelemahan tipe ini sering kali kurang memahami realitas budaya dan tradisi bangsanya, dan menganggap bahwa dengan pendekatan teknokratik masalah bangsa akan selesai. Masalah bangsa tidak akan selesai tanpa adanya kerja sama yang baik, sehingga memunculkan saling lempar tanggung jawab. 

Lima, ada tipe pemimpin baru di Indonesia akhir-akhir ini yang tampil mengandalkan popularitas dan dukungan parpol pendukungnya. Dengan cara ini mereka berhasil mendapatkan posisi legal-formal dalam tubuh pemerintahan. Menjadi problem serius ketika popularitas itu tidak disertai kompetensi dan integritas, karena mereka memenangi pemilihan karena kekuatan uang dan jejaring dinasti politik yang segalanya dianggap halal semata.

Tipe pemimpin inilah yang merusak cita-cita luhur kemerdekaan dan demokrasi. Mereka berbeda dengan tipe pemimpin intelektual –pejuang yang memiliki andil besar dalam pergerakan kemerdekaan, atau tipe ilmuwan-teknokratik yang mengandalkan profesionalisme. Adapun tipe pemimpin ini dalam Bukunya Anis Matta dengan judul Gelombang Ke Tiga Indonesia pada halaman ke 41 seorang pemimpin harus meredam persaingan idiologi pada saat persiapan kemerdekaan karena adanya kepentingan bersama.

Enam, tipe pemimpin yang mampu mensintesikan lima tipe sebelumnya, untuk menghadapi dan menjawab problem bangsa yang berkembang dinamis. Terutama perpaduan sifat ketulusan, kecintaan, dan kesabaran dari tipe para nabi, semangat perjuangan dan membela martabat bangsa dari tipe intelektual-pejuang, dan kemampuan teknokratik dalam mengelola birokrasi modern.

Adapun mandat dan legalitas dari parpol pendukung hanyalah bersifat instrumental, jangan sampai parpol dijadikan “majikan” karier politiknya. Pemimpin tipe ke enam ini itu mungkin bisa disebut pemimpin profetik-teknokratik. Disebut profetik karena kedekatan dan kecintaan serta komitmen dalam membela dan melayani rakkyat yang disebut teknokratik karena kemampuan pelaksanaannya dalam memecahkan masalah serta problem bangsa dan masyarakat menggunakan intrumen birokrasi dan ilmu pengetahuan modern.

Fenomena mengemuka kini, ada pemimpin yang mempunyai semangat membela rakyat sama halnya ketika di zaman sebelum kemerdekaan, tetapi miskin kemampuan teknokratik. Sebaliknya banyak teknokrat merasa hebat dalam bidangnya, tetapi tidak memiliki pemahaman yang mendalam terhadap problem dan karakter bangsa, serta memiliki komitmen untuk membela kepentingan rakyat.

Yang konyol pada saat beberapa minggu yang lalu tampil di TV seorang bupati yang ditangkap, karena kedapatan menggunakan narkoba, padahal bupati tersebut baru dilantik sekitar satu bulan yang lalu, padahal kampanye Presiden Jokowi akan “membumi hanguskan” narkoba. (Penulis adalah Ketua Umum Badko HMI Riau-Kepri 2013-2015).

Berita Lainnya

Index