Opini

"Biarlah Rumah Cunduang Asal Makan Lai Bominyak" Aforisme Untuk Menjadi Miskin

Luzian Pratama, Mahasiswa Pascasarjana UIN Imam Bonjol

 

SERAMBIRIAU.COM - Pakar sejarah ekonomi terkemuka Witold Kula melalui tulisannya pernah membicarakan tentang manusia ekonomi. Witold dalam tulisannnya, mengilustrasikan tentang manusia golongan bangsawan Polandia pada abad 17 tidak peduli kata hemat dan berpikir rasionalitas tentang laba. Yang terpenting bagi kaum bangsawan saat itu, berbelanja untuk dipakai atau dikonsumsi.

Ada sebuah aforisme yang beredar di tengah masyarakat Kuantan Singingi, Provinsi Riau secara umum masyarakat suku Melayu asli, bunyinya begini, "biarlah rumah cunduang, asalkan sambal lai bominyak". Kata cunduang berarti condong atau hampir roboh atau miring. Dan sambal bominyak berarti ciri khas masakan Melayu yang memakai banyak rempah dalam masakannya. 

Ungkapan itu beredar luas dan hapal oleh kebanyakan masyarakat Melayu. Walaupun sebenarnya ungkapan itu tidak dapat dibenarkan bahwa benar-benar lahir dari orang Melayu asli, atau pun orang Melayu semuanya demikian. Hal tersebut dikarenakan belum adanya bukti kuat secara tertulis tentang ungkapan itu, dan juga publikasi penelitian.

Kendati demikian, mari singkirkan dahulu masalah benar atau tidak, siapa yang penggagasnya, dan apa sebab munculnya ungkapan tersebut. Sejenak kita alihkan kepada hal yang lebih substansial tentang makna yang terkandung dalam ungkapan.

Mengambil istilah para sosiolog terdahulu, melihat dengan kacamata "mikroskop sosial", menganalisis kecenderungan secara universal, setidaknya dari ungkapan telah menjelma atau diterjemahkan menjadi sebuah pandangan ataupun acuan dalam berkehidupan bagi banyak orang Melayu.

Ungkapan "biarlah rumah cunduang, asal sambal lai bominyak", seakan menjadi miniatur dalam kehidupan masyarakat secara umum.

Jika sebelumnya Witold mengilustrasikan kondisi kaum bangsawan abad 17, fenomena dari ungkapan "biarlah rumah cunduang" adalah gambaran terbalik dari tulisan Witold. Kondisi kaum bangsawan yang diungkapkan Witold, golongan elit berbelanja bermaksud untuk menyakiti hati orang tidak mampu. Sedangkan ungkapan "biarlah rumah cunduang" adalah interpretasi ciri atau model orang melayu secara personal tanpa bermaksud untuk menyakiti, sebagaimana yang digambarkan Witold.

Jika ditelisik lebih dalam, "biarlah rumah cunduang" sangat jauh dari kata sejahtera. Meskipun secara normatif masyarakat itu disebut mampu untuk membangun, akan tetapi di sisi lain melakukan pembiaran demi masalah isi perut yang lebih baik.

Untuk bisa dikatakan sejahtera, menurut paparan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) setidaknya harus memenuhi enam indikator dasar, di antaranya; makan dua kali sehari atau lebih, memiliki pakaian yang berbeda, tempat tinggal dengan bangunan yang layak dan baik, mampu menangani kesehatan, anak umur 7-15 bersekolah, pergi ke sarana kontrasepsi apabila masa subur.

Kata "cunduang" yang berarti hampir roboh, sudah barang tentu jauh bergeser dari kepemilikan tempat tinggal yang baik dan layak. Jangan ditanya lagi soal sanitasi, pakaian berbeda untuk bekerja dan di rumah, memberikan pendidikan yang baik untuk anak dan lain sebagainya. 

Dalam artian "biarlah rumah cunduang" adalah perilaku pembiaran, mengabaikan, atau tidak peduli terhadap kondisi tempat tinggalnya. Penyebabnya adalah agar sesuatu yang ada pada kalimat ungkapan selanjutnya "asalkan sambal lai bominyak" terus dapat diwujudkan.

 

Artinya guna mengkonsumsi makanan "sambal bominyak" kondisi untuk tempat tinggal yang lebih baik terabaikan. Dalam paradigma pemberdayaan, hal semacam itu ialah soal mindset atau cara berfikir. Oscar Lewis menyatakan, pemikiran yang miskin adalah kemiskinan nilai dan tidak punya kemauan untuk mencapai berbagai sisi-sisi kehidupan yang lebih baik secara kompleks. Persoalan itu menurut oscar, salah satu penyebabnya adalah way of life yang dianut di tengah masyarakat itu sendiri.

Selanjutnya kata kedua, "asalkan sambal lai bominyak". Ciri utama dalam masakan tradisional Melayu tidak diragukan lagi adalah menggunakan rempah-rempah yang cukup banyak. Santan juga penting dalam memberikan cita rasa hidangan Melayu yang kaya dan juga mengentalkan hidangannya. Bahan dasar lainnya adalah belacan (terasi) dan berbagai bahan lain menjadi bahan dasar.

Secara tidak langsung, modal untuk makan bagi orang Melayu dapat dikatakan sangatlah mahal. Kata "asalkan" dalam ungkapan itu berarti "dengan syarat". Bahwa rumah tidak akan condong selama "sambal bominyak" tidak menjadi patokan untuk dikonsumsi. Tidak hanya itu, jika ungkapan tersebut diubah atau dibalik menjadi "biarlah sambal dak bominyak, asal rumah togak", maka tidak hanya rumah, dimensi-dimensi lain kehidupan pun akan menjadi suatu diprioritaskan.

 

Amat disayangkan jika pemahaman terhadap aforisme seperti itu terus berlanjut di tengah masyarakat. Tidak mungkin tidak, suatu ketika di masa mendatang, akan terjadi berbagai kondisi krisis di tengah masyarakat Melayu asli Kuantan Singingi. Ada sebuah adagium yang cukup tersohor "orang kaya mati meninggalkan kekayaan, sedangkan si miskin mati meninggalkan kebodohan".

Penulis: Luzian Pratama, Mahasiswa Pascasarjana UIN Imam Bonjol

Berita Lainnya

Index