SERAMBI RIAU, PEKANBARU - Industri Crude Palm Oil (CPO) kelapa sawit Indonesia sedang menghadapi masalah akibat pencekalan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat. Pecekalan tidak terlepas dari ulah sejumlah pengusaha nakal perkebunan kelapa sawit itu sendiri.
Anggota Komisi II DPRD Riau Sugianto mengatakan, Provinsi Riau sebagai perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia memiliki peran dan dampak atas ditolaknya CPO Indonesia di pasar Eropa dan Amerika.
“Ulah pengusaha sawit yang nakal dan tidak taat lingkungan menyengsarakan petani dan masyarakat, hancurnya harga dan pencekalan CPO oleh Uni Eropa dan Amerika merupakan murni kesalahan pengusaha sawit yang tidak taat aturan dan merusak lingkungan sehingga imbasnya masyarakat kecil karena harga tandan buah segar jadi murah,” ujar Sugianto, Kamis (25/7).
Kata Politisi PKB ini, penjelasan Wakil Ketua Kamar Dagang Uni Eropa (Eurocham) di Indonesia, Wichard Von Harrach, pencekalan minyak kelapa sawit Indonesia karena usaha sawit didapati masih merusak lingkungan.
“Sama-sama kita tau beberapa regulasi yang ada tidak pernah didengar dan ditaati oleh pengusaha perkebunan. Hal ini harus diseriusi oleh pemerintah terutama Provinsi Riau sebagai lahan perkebunan terluas,” sebut dia.
Pihak DPRD Riau, menurutnya, mulai tahun 2015 yang lalu sudah mendata perusahaan perusak sungai, menanam di luar izin HGU, dan kemudian kebun di kawasan kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) dan pipip serta kubah gambut dan lindung gambut sesuai Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 129/Setjen/PKL.0/2/2017.
“Dari hasil data, banyak perusahaan terlibat merusak lingkungan,” ulas dia.
Kondisi ini juga diperkuat dari hasil rilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada 1,2 juta hektar lahan illegal digarap oleh beberapa perkebunan sawit di Riau.
“Dari temuan-temuan di atas, saya kira punya andil penyebab rusaknya harga CPO karena ulah nakal perusahaan perkebunan,” imbunya.
Mengapa disebutkan perkebunan perusahaan? Karena kalau kebun masyarakat pemerintah pusat sudah membenahi secara legalitas melalui sertifikat Prona, Tora dan Perhutanan Sosial. Dalam segi lingkungan kebun masyarakat, Kementerian LHK dan Badan Restorasi Gambut (BRG) juga memperbarui melalui APBN untuk merestorasi lahan KHG dan kawasan gambut.
“Tapi buat perusahaan itu kewajiban dan sampai hari ini perusahaan tidak mau memperbaiki lingkungan dan menggarap lahan ilegal,” terang dia.
Sebagai contoh di Riau antara lain ada PT Musimas jelas merusak sungai dan tidak merestorasi KHH di beberapa anak sungai yang dirusak. Seperti Sungai Napoh di KHG 14.05.06 seluas 3000 hektar lebih. Perusahaan juga menanam di luar HGU.
“Kemudian ada PT Serikat Putra yang menggarap lahan tanpa izin dan HGU, nah perusahaan inilah yang dibilang oleh Wakil Kamar Dagang Uni Eropa sebagai perusak lingkungan,” sebut dia.
Kasus serupa di beberapa perkebunan di Riau didapati di sejumlah perusahaan seperti PT Adei Plantation, PT Sekar Bumi Alam Lestari (SBAL), PT Padasa Enam Utama dan banyak lainnya.
“Kalau hari ini Gubernur tidak serius membuat tim dan menganggarkan pengukuran HGU, yang kasihan adalah masyarakat Provinsi Riau. Jadi dalam menghadapi ini, jalan satu-satunya bentuk Tim Terpadu,” saran Sugianto.
Tim Terpadu nantinya dilibatkan mulai dari Kejaksaan, Kepolisian, BPN, Dinas Perkebunan, Kehutanan, PPNS, Dirjen Pajak, DPRD, Bupati/Walikota, Kementerian LHK, DPR RI, serta LSM masyarakat luas.
“Pemprov juga segera menganggarkan di APBD untuk mengukur ulang dan mengeksekusi lahan di luar HGU dan memetakan kawasan gambut. Harus diberi sangsi kepada perusahaan nakal supaya masalah CPO dapat segera pulih,” tambahnya.
Dan tidak kalah penting adalah adanya kerjasama perusahaan. Pemerintah harus teliti mengeluarkan sertifikat ISPO dan RSPO dengan melihat rekam jejak perusahaan secara periodik.
“Jika kita sudah bisa memulihkan perizinan dan kerusakan lingkungan, maka kita bisa menjawab tudingan Uni Eropa dan Amerika, sehingga CPO kita bisa diekspor lagi. Ini harus ada ketegasan dari setiap instansi,” pungkasnya.(src/sug)