Petani Ubi di Desa Salo Bisa Dapat Untung Hingga Rp 30 Juta Sekali Panen

Petani Ubi di Desa Salo Bisa Dapat Untung Hingga Rp 30 Juta Sekali Panen
Petani Ubi di Desa Salo Bisa Dapat Untung Hingga Rp 30 Juta Sekali Panen

PEKANBARU, SERAMBIRIAU.COM - Ditengah merosotnya harga sawit dan karet, sejumlah petani yang berada di Desa Salo, Kampar tetap bisa tersenyum. Turunya harga sawit dan karet yang belakangan ini banyak dikeluhkan petani, ternyata tidak berdampak terhadap petani yang ada di desa ini.

Sebab mereka memilih tidak bertani sawit atau karet. Puluhan petani yang tergabung dalam kelompok tani Ubi di desa Salo ini memilih bercocok tanam ubi racun. Singkong beracun sebagai bahan baku tepung tapioka ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi, seiring merosotnya harga pembelian sawit dan karet yang selama ini menjadi penopang hidup kebanyakan petani di Riau. 

Jarot salah seorang petani ubi racun di Desa Salo akhir pekan lalu menceritakan soal potensi ubi racun di Riau yang masih berpeluang untuk dikembangkan oleh petani. Sebab ubi racun dibutuhkan oleh perusahaan tepung tapioka karena kaya akan kadar patinya jika dibandingkan dengan ubi biasa. 

Menurut keterangan Jarot, selain permintaan pasar yang cukup tinggi, ternyata untuk perawatanya juga tidak rumit. Tidak seperti tanaman lainya yang harus dipupuk. Itulah sebabnya kenapa petani di desa ini tetap menjadikan ubi racun sebagai komiditi unggulannya. 

Apalagi untuk pemasaranya juga tidak sulit, sebab di Riau sudah ada beberapa perusahaan pengolah ubi menjadi tepung tapioka. Sehingga para petani di desa ini pun tidak khawatir hasil panennya tidak laku dipasarkan. 

Jarot mengungkapkan, dalam satu hektare lahan bisa ditanam sebanyak 10 ribu batang ubi. Tidak harus menunggu waktu yang lama, hingga bertahun tahun seperti tanaman sawit, hanya dalam hitungan bulan, ubi kayu ini sudah bisa di penan. 

"Kalau satu hektare itu, bisa ditanam 10 ribu batang, asumsi kita untuk penghasilannya sekitar Rp 25 sampai Rp 30 an juta lah. Untuk hasil panen yang bagus, biasanya dipanen diusia 10 bulan," kata Jarot menceritakan penghasilan ubi racunnya setiap satu kali panen. 

Apa yang dilakukan oleh petani di Desa Salo ini bisa menjadi contoh bagi masyarakat Riau yang selama ini masih mengandalkan sawit atau karet.

Apalagi ditengah luasnya kebakaran hutan dan lahan yang disinyalir akan dijadikan kebun sawit, petani ubi kayu ini sekolah ingin memberikan jawaban, bahwa membuka lahan tidak harus dengan cara membakar, dan tidak harus ditanami sawit. 

"Di Riau sudah banyak yang beralih bertani ubi kayu berarun, tidak disini saja, di Siak juga ada, kemudian di Kuantan Singingi, Rokan Hulu, Kepulauan Meranti, dan Kota Pekanbaru dan di Kampar juga ada dibeberapa lokasi," ujarnya.

Cerita sukses petani ubi kayu racun, menarik perhatian Gubernur Riau, Syamsuar. Merasa penasaran, menyempatkan diri untuk meninjau langsung panen ubi kayu racun Desa Salo, Kecamatan Salo, Kabupaten Kampar, Sabtu (28/9/2019) kemarin.

Disela peninjauan ke kebun ubi kayu beracun di Desal Salo, Gubri pun mengungkapkan potensi penghasilan petani ubi ini yang cukup besar jika dibandingkan dengan sawit dan karet. 

"Bayangkan saja, dalam satu hektar itu petani bisa mendapatkan penghasilan dari ubi kayu racun ini minimal Rp 30 juta, setiap satu kali panen, sekitar 10 bulan," katanya.

Tidak hanya keuntungan materi, namun yang tidak kalah pentingnya adalah, keuntungan lingkungan. Dimana tanaman ubi kayu ini tidak menyerap air di tanah secara berlebihan seperti tanaman sawit. 

"Jadi tidak membuat lahan gambut kering dibandingkan kelapa sawit yang menyerap air lebih besar. Merawat ubi kayu racun lebih ringan dibandingkan kelapa sawit yang harus rutin diberikan pupuk," ujatnya.,

Sementara untuk permintaan pasarnya, dikatakan Syamsuar, kebutuhan tepung tapioka dari tanaman ubi kayu racun di Riau sangat besar. Apalagi, kebutuhan tepung untuk dua perusahaan besar, seperti Indah Kiat dan RAPP sangat besar dan mereka mensuplai tepung impor dari Thailand.

"Karena kita belum memenuhi standar kebutuhan dua perusahaan besar ini, makanya tepung kita belum bisa diterima. Saat ini bagaimana hasil tepung kita dari pabrik tapioka yang ada di Riau memiliki standar, sehingga bisa memenuhi pasar lokal dan international," katanya.

Tidak hanya itu, belum lama ini, Syamsuar pernah menjumpai pengusaha di Jakarta, pengusaha ini ingin membangun pabrik etanol di Riau. Untuk bisa menghasilkan bahan bakar minyak terbarukan, salah satu bahan bakunya tepung tapioka dari ubi kayu racun.

"Harapan kita masyarakat tidak hanya berorientasi menanam kelapa sawit, tapi masih banyak tanaman yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dibandingkan sawit, seperti ubi kayu racun, nenas, kopi liberika, pinang dan tanaman porang, yang bisa meningkatkan ekonomi masyarakat Riau," kata  Syamsuar. (Man) 

Berita Lainnya

Index