PEREMPUAN, PERNIKAHAN, DAN UMUR

PEREMPUAN, PERNIKAHAN, DAN UMUR
Kapan nikah (ilustrasi)

Oleh : Nurul Ardilla, S.I.Kom
*Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Riau

PADA dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan serta berketergantungan antara manusia satu lainnya dan juga berpasangan antara pria dan juga wanita.

Hal ini didukung oleh pendapat para ahli maupun di dalam agama bahwasanya menikah merupakan penyempurnaan separuh agama dan dari sisi psikologisnya, kita membutuhkan pasangan yang bisa menjadi pembimbing, sahabat, dan penasehat kita.

Stigma yang sudah tertanam di masyarakat khususnya negara Indonesia di beberapa wilayah tertetu memiliki standar usia pernikahan tersendiri. Umumnya masyarakat menganggap usia ideal wanita untuk menikah adalah pada umur 23-27. Tak sedikit, saat sudah menginjak usia 25 tahun, sering dianggap sebuah “usia rawan” untuk perempuan agar segera menikah.

Hal ini tentunya didasari oleh pengalaman orang tua terdahulu yang cenderung menikah di usia dini yang sedikit banyaknya merupakan hasil perjodohan dan pengenalan singkat.

Ini juga didukung oleh pendapat beberapa ahli yang meneliti serta mengobservasi dan menyatakan bahwa perempuan cenderung lebih siap baik secara emosional, fisik, mental, maupun finansial untuk menikah.

Banyak wanita yang merasakan kekhawatiran saat usia nya sudah memasuki seperempat abad, atau istilahnya disebut sebagai “Quarter-life Crisis” yang mendefenisikan istilah psikologi dimana keadaan emosial yang umumnya dialami oleh orang-orang berusia 18 hingga 30 tahun seperti kekhawatiran, keraguan terhadap kemampuan diri dan kebingungan dalam menentukan arah hidup.

Kondisi tersebut juga ditambah dengan banyaknya postingan di media sosial, teman teman yang seumuran yang sudah menikah, lamaran, dan lain halnya tak sedikit juga menambah kegelisahan dan kecemasan. Tak jarang beberapa perempuan memilih untuk cuti dari media sosialnya untuk menstabilkan mentalnya.

Tidak hanya postingan di media sosial, munculnya pertanyaan pertanyaan yang dilontarkan oleh orang orang terdekat seperti “kapan nikah?, “yang lain udah nikah, kamu kapan?” yang justru datang dari orang terdekat seperti orang tua, keluarga besar, teman, maupun rekan kerja yang sering kali tidak melihat situasi serta kondisi orang yang ditanyakan.

Terkadang perempuan tersebut memilih untuk menghindari pertemuan agar hal hal tersebut tidak terjadi.

Namun, mencari pasangan tentunya bukan merupakan hal yang mudah. Adanya proses yang panjang didalamnya untuk mengenali, meyakinkan diri, mempersiapkan diri, dan memantapkan hati karena pastilah manusia ingin mendapatkan seorang pasangan yang terbaik dan juga selamanya sampai akhir hayat.

Dalam wawancara singkat ke beberapa wanita tersebut didapatkan berbagai alasan mereka belum memutuskan untuk menikah. Alasan tersebut diantarnya ingin fokus mengejar karier, mengejar pendidikan, masih merasa belum siap diri, belum mendapatkan pasangan yang cocok, dan ada juga yang menutup diri untuk membuka hati karena trauma masa lalu.

Kekhawatiran tersebut tentunya tidak hanya datang dari perempuan single tersebut, tentunya menimbulkan kecemasan bagi orang tua terhadap anak perempuannya yang belum menikah. Mereka menganggap, semakin tua usia anaknya maka akan semakin sulit untuk menemukan pasangan hidup terlebih jika anak perempuan tersebut memiliki status pendidikan, karir, dan finansial yang lebih mapan.

Beberapa alasan lain adalah karena ia merasa anaknya sudah matang dan tidak perlu menunda pernikahan lagi. Selain itu tak jarang jika anaknya belum memiliki pasangan, orang tua berusaha menjodohkan dengan saudara atau anak dari temannya. 

Alasan lainnya adalah orang tua juga memikirkan omongan tetangga dan orang sekitarnya yang menanyakan kapan akan punya menantu. Tentunya ada harapan mereka ingin segera memiliki cucu dan melihat anaknya memiliki keluarga yang bahagia. Tidak jarang hal ini memunculkan perdebatan antara orang tua dan juga anak. 

Untuk itu pentingnya komunikasi interpersonal yang baik didalam keluarga. Perlu adanya sama sama pengertian dan dukungan mental, bagaimana pun tentunya orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Dibutuhkan sikap saling terbuka antara anak dan orang tua karena sejatinya orang tua memegang peranan penting dalam memberikan arahan dan juga restu. Untuk desakan dan omongan yang kurang nyaman untuk didengar, sebaiknya jangan dijadikan beban pikiran.

Bagaimana pun kita tidak dapat mengontrol apa yang orang katakan ke kita, namun kita dapat menyaring informasi mana yang kita pantas masuk kedalam hati dan juga pikiran kita. Omongan orang kita jadikan saja alarm pengingat untuk kita tentunya untuk menjadi bahan intropeksi diri agar memperbaiki kekurangan kita. Memperluas pertemanan, juga lakukan aktifitas olahraga.

Tentunya jodoh itu datang disaat yang tepat dan harapan dengan orang yang terbaik menurutNya. Jangan karena kita ingin cepat melihat orang lain, kita jadi salah dalam memilih pasangan.

Selagi masih sendiri, perbanyaklah isi dengan kegiatan yang positif agar bisa mengembangkan diri kita menjadi lebih baik lagi. Berprasangkalah yang baik, karna tanpa kita sadari apa yang terjadi merupakan refleksi dari apa yang kita pikirkan.

Saat ini juga banyak kelas kelas pranikah yang meningkatkan wawasan dan lebih mematangkan kita untuk siap membangun rumah tangga. Karena menikah tentu bukanlah tujuan akhir kehidupan kita, namun juga gerbang kehidupan baru yang di dalamnya membutuhkan kesabaran, kekuatan, dan kesiapan seumur hidup . (***)

Berita Lainnya

Index